Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Hakekat Kecerdasan (bagian II)




Diskusi SMS terus berlanjut...
Dalam hatiku, dengan semangat aku berkata "sekarang adalah giliranku". Ya, inilah giliranku menguraikan prinsip kecerdasan. Menurutku, kecerdasan bukan berdasarkan otak-nya. Atau bahkan, seberapa tinggi IQ yang dimiliki seseorang. Namun, tingkat nafsu adalah ukuran kecerdasan seseorang.

Aku menulis bahwa Tingkat pengendalian Nafsu adalah ukuran kecerdasan seseorang.
Kontan saja Sophie langsung loncat-loncat mendengar pernyataan itu. Dia menulis "bukan, bukan nafsu ukuran kecerdasan itu".

Lalu kujawab,
"ya, tingkat nafsu adalah ukuran kecerdasan. Semakin kita bisa mengendalikan nafsu, maka kita cerdas. Semakin kita tidak bisa, maka kita bodoh".

Sophie lalu terdiam sejenak, tidak ada balasan SMS selama 15 menit. Aku rasa Sophie sedang berpikir.

Lalu tiba-tiba, Sophie menyebut nama Einstein, yang terkenal sebagai penemu teori Relativitas. "Tahukah kamu kenapa Einstein bisa menemukan Teori Relativitas. Kenapa bisa begitu....!!!!?" tanya Sophie ketus.

Saya diam. Lalu datang sms dari Sophie berturut-turut.

Sophie menulis "Itulah loncatan pikiran, hanya orang kokoh dan punya imajinasi yang bisa melakukan demikian. Karena itu, saya berpikir bahwa guna mencapai loncatan pikiran, kita bisa melakukan cara mengendalikan nafsu kita".

Aku ga percaya bahwa sophie, si ahli Genetics itu, setuju dengan penjelasanku. Padahal saya tidak punya amunisi yang sering dipakai Ahli genetik. Amunisi berupa teori-teori empiris yang dihasilkan dari riset laboratorium atau perjalanan penelitian ke penjuru dunia...

Sebenarnya sih, itu bukan teoriku, tapi aku menurunkannya dari Sabda Rasulullah SAW, seperti berikut ini 
"Kalian telah tampil ke depan dengan cara terbaik. Untuk tampil kedepan, kalian telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar." Mereka berkata: "Dan apakah jihad yang lebih besar itu?"
Beliau menjawab: "Perjuangan (Mujahadat) hamba-hamba Allah atas Hawa Nafsu / EGO mereka."
(Ahli Hadits Mulla 'Ali al-Qari meriwayatkan dalam kitabnya al-Mawdu'at al-kubra, yang juga dikenal sebagai al-Asrar al-Marfu'a: Suyuti berkata: al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dalam "Sirah"-nya dari Jabir, ketika Nabi saw kembali dari salah satu peperangannya, beliau saw bersabda seperti perkataan di atas itu)
Lho, kok, hadits tentang perang diambil sebagai dasar kepandaian..?!! Bukankah kondisinya tidak sama?

Heh...maafkan saya dalam hal ini. Seingat saya, ada hadits Rasul SAW menyebutkan bahwa "bukanlah orang cerdas adalah orang yang pandai otaknya. Tapi orang yang mampu mengendalikan nafsunya."
Tapi, karena masih ragu-ragu, apakah yang di ingatan itu, dari Rasul, lalu saya mengambil hadits Perang Hawa Nafsu tersebut sebagai basis teori. Kemudian, saya tafsirkan sebagai penjelasan bagi pondasi teori kecerdasan.

Kembali ke topik, kemudian, Sophie menelepon. Terdengar suara nyaring .... tut....tut...tut Ternyata ketika diskusi tadi, dia sedang berada di atas Monorail di Kuala Lumpur. Bunyi suara tut...tut...tut... adalah tanda bahwa dia telah sampai tujuan.

Lalu Sophie berkata "terima kasih yaa atas teori tuan". 

P.S. : Jika ada pembaca lain yang memiliki literatur atau mengingat bahwa ada hadits yang mengatakan
"bukanlah orang yang cerdas adalah orang yang pandai otaknya, tapi pandai mengendalikan nafsunya"
Kami mohon beri penjelasan info di kotak komentar yaa.... :)

sumber:Posted by Cahaya Biru Labels: , 

Posting Komentar untuk "Tentang Hakekat Kecerdasan (bagian II)"